Monday, January 23, 2006

logo program kpg



Berbagi Cakrawala sebuah program KPG untuk menyalurkan buku-buku pendidikan kepada masyarakat yang membutuhkan.

nominator




[...] Menurut Sri, sebanyak 640 karya dilombakan dari penjuru tanah air, setelah mengalami beberapa tahap seleksi, akhirnya yang lolos menjadi 49 karya, kemudian menjadi 13, dan akhirnya terpilih lima karya.

Mereka adalah yang masuk sebagai empat nominator, Rully Susanto dari Tangerang, Budiman dari Bandung, Joko Sugiarto dari Bandung, dan Andriani dari Cipete. Dan sebagai pemenang utama adalah Amelia Sidiq dari Surabaya.(len)

Sunday, January 22, 2006

Bad Project with Indonesian Tourism Dept

Friday, January 20, 2006

cv river out of eden

Thursday, January 19, 2006

logo einstein cilik

cvr gempa waktu

cv statistik

cv sesawi

cv snyder

cv asalusul

cv melbourne

cv nalar

cv norwei

logo CMM2

logo CMM

logo MK

intisari 40th

logo DAP

KKG fair

megalitikum kuantum

cil

CTAM

lelaki harimau

cv piano teacher

Tuesday, January 17, 2006

Simpul Sampul Sang Pembosan

Lebih dari 400 sampul buku telah dia kerjakan. Konon, Rully Susanto adalah perancang sampul buku termahal.Lalu mengapa ia mencari seorang yang mau menulis buku untuk disain sampulnya?

SEBUAH BUKU, kali pertama yang terlihat adalah sampulnya. Apakah yang terbayang, menarikkah ia? Siapa disainer yang membuatnya, hingga hati tergerak menjamahnya? Pernahkan terpikir oleh kita kalau selembar samak yang dibuat khusus untuk ‘menggambarkan’ kandungan isi buku itu adalah hasil luapan karsa dan rasa si perancang. Lalu ‘perang kedua’ muncul: don’t judge the book by the cover, kata pepatah lawas. Seakan pekerjaan seorang disainer sampul buku itu berada jauh di dasar laut egosentrisma penulis bukunya.

Menjadi pendisain kaver buku di Indonesia memang masih samar-samar. Sebagai pekerja seni, posisinya masihlah begitu cair ketimbang seorang editor, penulis, atau bagian penjualan, misalnya. Ini menjadi sebuah pertanyaan, apakah keadaan ini memang terbentuk oleh sebuah sistem yang sudah baku? Atau mungkin profesi ini hanya sebagai pelengkap untuk sebuah perusahaan penerbitan?

Menyebut nama Rully Susanto, seperti membayangkan keajaiban angka 400-bahkan lebih-untuk buku yang telah ia kerjakan selama sembilan tahun sejak bergabung di Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) di tahun 1996. Ia dikenal sebagai seorang yang ‘gila kerja’ sekaligus pekerja-paripurna. Hubungannya yang unik dengan Parakitri Simbolon, pemimpin KPG, memper¬kaya pola pikirnya, dan memberikan keleluasaan bekerja sehingga ‘kebe¬basan’ itu bukan untuk seenak udel. Rully banyak menimba pengetahuan dari teman-temannya diredaksi. Ia terbilang kooperatif, ngaku gak tahu ya kalau gak tahu, dan mencecer narasumber untuk keperluan konsep sampul buku hingga ke akar akarnya.

Perangainya yang moody, sangat mempengaruhi proses kerjanya. Dua hal besar yang diandalkannya dalam proses kreatif pekerjaanya adalah gagasan dan eksekusi. Jangan kaget kalau ia begitu serius jika ditanya bagaimana proses kreatifnya sebagai perancang sampul, “seorang perancang sama halnya seperti seorang ilmuwan. Mengenali sebuah problem, lalu dicerna dengan indera (sense) dan akal (rasio). Melakukan riset kecil-kecilan dan menguji kesahihannya. Tidak jarang ia meminta komentar dari teman-teman sekerjanya atas hasil kerjanya. Sense dan akal kadang sering tarik menarik. Memang kadang sebelum problem itu terpecahkan, gagasan itu seperti carut-marut tergantung di udara, menunggu suatu pemecahan yg belum dianugerahkan. Sering orang menganggap ini seperti wahyu yang belum turun dari sorga,” Jelas Rully yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Desain Grafis Institut Kesenian Jakarta.

Sebagai pekerja seni, Rully patut bersyukur, ketika apa yang ia dapatkan sekarang belum tentu dienyam banyak orang untuk tipe pekerjaan sejenis ini. Tempat kerja yang senyaman sekarang ini acap memposisikan Perancang Grafis setara dengan editorial naskah.

Lure of Rully
Di luar buku-buku produksi di lingkup kerjanya di KPG, nama Rully Susanto masih sering kita jumpai dalam sejumlah penerbitan. Mereka pasti paham mengapa sampai begitu mau maunya bekerjasama dengan orang senyentrik Rully. Pekerjaan di luar keperluan disain KPG, ia atur waktu pengerjaannya. Tak ada yang disembunyikan, “Semua orang tahu saya mengerjakan sidejob. Yang penting pekerjaan KPG tetap yang utama, dan tetap memuaskan,” tandasnya

Yang dimaksud memuaskan itu tak lain dari bekerja sesuai target, konsep, elaborasi, dan terutama eksplorasi kreatif untuk hasil kerjanya. Bekerja dengan tenggat waktu tak membuatnya redup mencari ide dan gagasan. Kadang ide ‘gila’ itu muncul luber demi mencari sesuatu yang tak biasa. Satu contoh misalnya, ia terkenal liar saat menerjemahkan sampul buku Gempa Waktu (KPG, 2001) karya Kurt Vonnegut dengan inovasi gambar lilin yang kemudian dipindahkan dalam fotografi. Sejumlah material ia coba. Eksperimentasi di luar kelaziman.

Tak banyak orang tahu kalau sampul untuk novel Kerudung Merah Kirmizi (KPG, 2002) karya Remy Sylado adalah akal-akalannya mengerudungkan bola kaca lampu dengan kerudung merah yang kemudian discan. “Saya harus terus mencari sebuah gagasan menarik yang memiliki tingkat akurasi akal sehat yang tinggi dengan tanpa menanggalkan sense yang cantik,” ungkap pekarya yang bersama Enin Supriyanto dan Dina Chandra untuk keperluan disain dan iklan cetak Konser Musik Megalitikum Kuantum yang baru lalu itu.

Ia begitu serius memikirkan dari satu jenis sampul ke sampul yang lain. Jika dijajarkan, sekilas hasil karya-karyanya sepanjang sembilan tahun nyaris tak mempunyai benang merah. Berubah-ubah. Sekilas lompat-lompatan karyanya tanpa meninggalkan ciri khusus. “Saya tidak mau ikut-ikutan dalam berkarya. Saya ini sangat pembosan!,” kilahnya. Kegundahan hatinya soal disain kaver di Indonesia adalah melihat para pendesain kaver buku hanya ikut-ikutan trend yang sedang ramai saja. Contoh, di banyak toko buku sedang marak buku-buku chic lit atau sejenisnya. Semua desain kavernya hampir semua gayanya sama. Padahal kalo mau ngintip sedikit di Amrik sono trend gaya itu sangat beragam sekali coraknya. “Ini bukan mau menghina” katanya, “tapi, kok kita ini cuma segitu sih wawasannya”.

Meski dikenal perfeksionis, bukan berarti jalannya mulus mulus saja. Hatinya tak akan sabar jika bertemu dengan kendala teknis. Ia tak sungkan membeli sejumlah rujukan dan peralatan sendiri tanpa memikirkan angka nominalnya, tentu jika itu memungkinkan. Tak pikir dua kali, ia membeli sendiri sejumlah coffee table book yang harganya selangit itu, jika memang dibutuhkan untuk referensi. Keterbatasan teknis memutar kepalanya untuk lebih bergiat mencari ide-ide segar. Ngidam kamera digital pun baru terlunasi beberapa tahun silam.

Pencarian
Hobi fotografinya itu membuat matanya awas dengan sejumlah view dan memperdalam wawasanya sebagai praktisi disain. Membeli beragam material hingga peralatan canggih seperti computer macintosh itu sering membuatnya kembali bokek meski baru saja terdengar, “Baru saja dapat proyek besar”. Cara Rully memang begini dalam menginvestasikan penghasilannya.Toh, kalau saat ini ia dikenal sebagai perancang sampul dengan tarif lumayan mahal tak lantas membuatnya “besar kepala”. Tarif termahal pernah 10 juta rupiah untuk satu desain kaver. Katanya, “soal patokan harga sebenarnya sih, no big deal! Yang penting kepuasan, kinerja, dan kerja yang selaras antara saya, penulis buku, dan editornya tercapai...” Hasil yang maksimal akan keluar dari kepalanya ketika ada harmoni itu.

Ia kerap menampik jika dikatakan telah hidup mapan dari pekerjaan seninya merancang sampul buku. Di balik alasan rendah hatinya itu terselip gugatan pedas tentang nasib pekerja sebagai seorang disainer buku. Sembilan tahun bekerja di penerbitan buku sudah cukup baginya menilai pola kerja yang ada. Ada tiga hal yang penting menurutnya, kerjasama yang baik antar redaksi, produksi (tim disain), dan pemasaran. “Jangan ada yang lebih dominan atau main kuasa, deh di sini”, kilahnya. Suara bung satu ini terkenal keras kalo merasa ada yang semena-mena di tempat kerjanya. “Saya akan ketus kalo merasa ada yang gak fair sesama teman kerja” Padahal ia tidak memiliki jabatan struktural apapun. Jabatan manajer produksi pernah dilayangkan kepadanya tetapi ia bergeming.

Satu obsesi main-mainnya saat ini adalah mencari seorang penulis buku, yang bersedia menerjemah¬kan hasil rancangan sampul buku yang akan dia buat nanti. Ini jelas bukan sebuah guyonan, tapi lebih semacam sebuah ‘gugatan’ untuk memper¬tanyakan posisi seorang perancang buku selama ini. Meski sering terdengar nada gugatan yang tandas, Rully adalah pengagum Zen. Ia begitu mensyukuri dan menikmati apa yang disebut dengan masa kekinian, apa yang ia capai saat ini adalah sebuah pertarungan untuk hari ini…'

“Saya adalah orang terkini,” tutupnya kemudian.*** Chusnato

Sampul buku adalah Identitas!

Provokasi dalam bentuk visual dan keganjilan-keganjilan yang mengganggu perhatian sangat efektif digunakan dalam sebuah desain. Desain harus terus mencuri perhatian dalam pesta raya perubahan yang serba cepat ini.

Iklan majalah, poster, brosur, TV slot atau radio komersial, spanduk, stiker, papan reklame, kemasan produk, membuat kita sulit membagi perhatian agar bisa berdialog dengan bentuk-bentuk visual tersebut. Masa kini, terlebih masa yang akan datang, segala bentuk akan berubah semakin cepat lagi. Tidak membaca koran satu hari saja kita sudah tertinggal ribuan informasi. Ada yang menjadi perhatian tapi banyak juga yang lewat begitu saja karena tidak menarik buat isi kepala kita. Sering suguhan itu membuat mata jadi lemah dan jenuh karena terus dijejali setiap saat. Sehingga kita terpontal-pontal dalam menangkap sari pati—apapun itu—ketika memandang. Dan dalam hitungan detik sudah terganggu lagi dengan perhatian yang lain. Sebuah karya desain grafis yang tampilannya biasa-biasa saja siap-siap akan masuk tong sampah di dalam system saraf otak kita.

Desain sampul buku tidak mungkin luput dari hiruk pikuk ini. Ratusan judul buku terbit tiap hari. Ratusan rancangan sampul buku berlomba merebut perhatian di outlet-outlet toko buku. Sampul buku harus mengganggu secara optikal, menyentuh rasa pada pandangan pertama bahkan mata harus tertawan pada titik pesan. Dia harus sanggup membangkitkan gairah keingintahuan. Kalau perlu pemirsa menjadi tergila-gila kalau tidak menyentuhnya.

Sebuah Merek Dagang.
Tahun ini, 2005, tepatnya 30 July penerbit kaliber dunia Penguin genap berusia 70 tahun. Di ulang tahunnya ini mereka menerbitkan sebuah buku berjudul Penguin by Design. Isinya melulu menceritakan sepak terjang mereka soal bagaimana mengemas buku dari 1935 hingga 2005. Buku ini menampilkan 500 desain sampul buku terbaik yang pernah mereka buat. Mulai dari gonta-ganti logo sampai gonta-ganti desainer. Perjalanan panjang yang mereka lalui itu tidak pernah lepas dari utak-atik desain sampul buku.

Dari awal berdiri Allen Lane, pemilik usaha ini, berani menyewa desainer tipografi top dunia Jan Tschichold untuk bekerja di perusahaannya. Allen Lane bahkan rela menjemput sendiri Jan Tschichold yang saat itu berdiam di Switzerland. Setelah itu dia diberi gaji lebih tinggi dibandingkan dengan semua karyawan yang ada di perusahaan itu. Padahal semangat awal berdirinya penerbit ini adalah hendak menerbitkan buku-buku murah. Buku bersampul kertas (paperback) harus dijual dengan harga yang murah sekali. Agar pulang modal tiap judul harus dicetak diatas 17.000 eksemplar. Penguin menetapkan jumlah 20.000 eksemplar sebagai angka penjualan yang sehat. Dari angka 20.000 itu hanya separuhnya yang dibungkus sampul. Ini dilakukan agar buku tidak terlalu lama diam dipercetakan. Buku yang tanpa sampul diberi tulisan “unwarranted” dan harganya jauh lebih murah lagi.

Dalam kurun waktu 70 tahun, desain sampul mendapat tempat yang khusus. Awalnya hanya untuk memberi sebuah identitas, lalu berkembang menjadi senjata penting dalam persaingan sengit bisnis perbukuan. Memang, keberhasilan penjualan sebuah buku tidak bisa di nilai langsung dengan sampul bukunya. Tapi Penguin mempunyai kebanggaan tersendiri memakai para top perancang grafis, fotografer, dan illustrator dalam hal memberi sentuhan pada setiap buku-buku mereka yang nantinya diharapkan bisa mendorong angka penjualan. Logo Penguin sudah menjadi sebuah jaminan untuk kualitas. Ini adalah aset yang sangat berharga dan tidak mudah untuk mencapainya. Situasi ini terus berlangsung hingga 2005 khususnya bagi tim artistik Penguin bahkan tradisi inilah yang membedakan mereka dengan penerbit lain.

Pertanyaannya sekarang kenapa Penguin melakukan semua ini? Bagaimana dengan penerbit di negeri ini? Di mana para perancang grafis top kita bekerja saat ini? Adakah karya desain sampul buku negeri ini yang dapat dibanggakan?

masterpiece

Yang Mendobrak Selera Pasar

PEMBACA kini dapat menikmati seni rupa dalam sampul buku dengan berbagai gaya lukisan dan desain warna yang sangat memikat. Gambar demikian menarik lantaran merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu yang sebenarnya terpisah, yaitu seni rupa dan desain grafis. Desain sampul yang demikian seakan sudah menjadi genre baru dalam dunia sampul buku negeri ini. Kreasi demikian tidak lepas dari sosok Harry Wahyu, atau lebih dikenal dengan si "Ong". Pria kelahiran Madiun, 22 Desember 1958, ini sempat mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, jurusan Grafic Art, dan mempelajari seni murni tahun 1980.
Bersama rekan-rekannya dari jurusan Arsitektur UGM, Yogyakarta, Ong mendirikan kelompok Salahuddin Press tahun 1983 yang salah satu kegiatannya siap sedia menerima permintaan penerbit untuk membuat ilustrasi sampul buku. Semula usahanya itu dilakukan guna mencari tambahan biaya. Namun, ternyata profesinya ini menjadi mata pencaharian.
Ketertarikannya pada sampul buku lahir setelah dia mengamati sampul kaset kelompok musik Yes asal Inggris yang tidak menampilkan personel group bandnya, tetapi ilustrasi. Sangat berbeda dengan desain sampul kaset Indonesia yang selalu didominasi oleh sosok sang artis. Ternyata, bahasa visual dapat memberi inspirasi dan menciptakan kesan dari yang melihatnya. "Sang tokoh tidak perlu ada, tetapi justru menampilkan kesan yang lebih hebat bagi penggemarnya," lanjut Ong.
Melihat persoalan baginya tidak harus selalu mengikuti mainstream yang berlaku. Inilah yang dilakukan Ong dalam setiap pengamatannya sekaligus dalam berkarya. Ketika dia diminta membuat ilustrasi sampul buku, misalnya, Ong tidak peduli dengan kaidah-kaidah yang sudah mapan saat itu. Namun, dia berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dengan menggunakan segala pengetahuan yang dimilikinya. "Saya enggak mau ngikutin pasar, biar pasar yang ikut kita aja. Kalo kita selalu ngikutin selera pasar, kan, enggak akan berkembang, enggak pinter-pinter nanti pasarnya," ungkapnya.
Prinsip ini dibuktikan ketika dia membuat ilustrasi sampul buku yang berkaitan dengan agama Islam. Ong tidak membuat ilustrasi dengan mengambil nuansa Timur Tengah, tetapi gambar orang bersepeda yang berhenti di bawah pohon kelapa untuk melaksanakan shalat. Mendesain sampul buku baginya merupakan sesuatu pekerjaan yang sangat menyenangkan dan berlaku sangat universal. Hingga kini lebih kurang sudah 500 desain sampul buku yang dibuatnya.
Jika Ong lebih banyak berkiprah di Yogyakarta, di Jakarta nama Rully Susanto cukup dikenal sebagai pendesain sampul buku yang berkarakter. Rully bergabung di Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Ia mengaku secara tidak sengaja berkecimpung dalam dunia perbukuan. Menurut dia, sebagian besar lulusan sekolah desain sebenarnya lebih banyak memilih bekerja di bidang advertising yang dianggap memiliki gengsi tinggi. Setelah bidang advertising, lulusan sekolah desain lebih suka memilih sebagai tenaga desain grafis yang khusus memproduksi logo, profil perusahaan, dan sejenisnya. "Jadi, posisi desain grafis di penerbitan itu kurang gengsinya, mungkin ujung-ujungnya kepada penghargaan yang diterima," ungkap Rully.
Namun, ia punya pertimbangan sendiri yang mengarahkan langkahnya memasuki dunia perbukuan. Menurut Rully, menjadi desainer buku harus mampu menguasai beberapa persoalan teknis yang saling terkait, yaitu penguasaan tipografi, kualitas ilustrasi, kualitas foto, dan komposisi. Dengan penguasaan itulah, seorang desainer buku mampu berkiprah. (umi/bip/wen)

Kompas, 16 Agustus 2003

Friday, January 13, 2006

maestro

MENJADI SENIMAN*

Kalo memang bisa kuliah, ya kuliahlah. Tidak ada ilmu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan kita nanti. Tapi, sebelum kuliah kalau bisa cari kerja dulu barang sebentar. Kerja apa saja, seperti kerja di perkebunan kentang, atau jadi montir mobil. Kalau Anda bekerja di ladang amatilah apa yang Anda kerjakan. Kenali betul karakter tanah yang hendak digarap—walau hanya kentang! Atau, kalau Anda jadi montir mobil, penciuman Anda harus peka dengan bau oli atau karet yang terbakar. Melukis, tentu, tapi kalo bisa dikesampingkan dahulu, lebih baik latihan menggambar. Dengar segala yang menyangkut pembudidayaan dan lakukan hal yang serius dengan keseriusan. Jangan pernah meremehkan hal yang kecil. Di tempat kuliah, atau di manapun, biasakan membaca. Tak kecuali teks yang ada di angket pembaca. Baca Sophocles dan Euripides dan Dante dan Proust. Baca segala sesuatu menyangkut tentang seni. Baca kitab suci, baca Hume, baca Pogo. Banyak baca puisi dari beragam seniman. Pergi ke salah satu sekolah seni, dua atau tiga tempat, atau ambil kursus malam kalau perlu. Melukis, melukis dan menggambar, menggambar. Cari pengetahuan, yang ada di kurikulum atau non kurikulum—matematika dan fisika dan ekonomi, logika, sejarah. Menguasai paling tidak dua bahasa di samping bahasa ibu. Tapi bagaimanapun, kuasai bahasa Inggris dan Perancis. Perhatikan teknik gambar dan gaya lukisan. Amati setiap simbol-simbol dan emblem; jangan menolak melihat papan iklan atau brosur gambar perabot rumah. Jangan ragu mengakui gambar atau lukisan yang Anda sukai atau tidak, tapi kalau Anda tidak suka tetaplah berpikiran terbuka. Jangan ketinggalan mata kuliah tentang seni, soal pra-Raphael, Hudson River School, atau generasi pelukis Jerman. Ngobrol dan ngobrol dan nongkrong di café, dengar obrolan yang dibicarakan orang, tentang Brahm, tentang Brubeck, dan dengar topik-topik hangat di radio. Dengar pengkhotbah di kampung dan di kota. Dengar para politisi bicara. Kalau perlu gambar wajah mereka. Dan ingat, Anda sedang mencoba belajar memikirkan apa yang ingin Anda pikirkan (…you are trying to learn to think what you want to think), Anda sedang mengordinasi pikiran, tangan, dan mata. Pergi ke semua museum dan galeri seni bahkan ke studio-studio seniman. Pergi ke Paris dan Madrid dan Roma dan Ravenna dan Padua. Diam di Sainte Chapelle, di Kapel Sistine, Gereja Carmine di Florence. Gambar dan gambar dan melukis dan belajar segala bentuk media gambar: coba lithography dan aquatint dan cetak saring. Kenali segala hal tentang seni, dan segala pengertiannya dan segala pendapat mengenainya. Jangan takut terlibat dengan seni atau politik; jangan takut belajar menggambar lebih baik dari yang pernah dilakukan; dan jangan pernah ragu mencoba segala macam seni, yang berkelas atau yang biasa-biasa, lakukanlah dengan rasa hormat.

* Dikutip dari buku “ Aim for a Job in Graphic Design/Art” karya S. Neil Fujita, hlm 79.