Tuesday, January 17, 2006

Yang Mendobrak Selera Pasar

PEMBACA kini dapat menikmati seni rupa dalam sampul buku dengan berbagai gaya lukisan dan desain warna yang sangat memikat. Gambar demikian menarik lantaran merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu yang sebenarnya terpisah, yaitu seni rupa dan desain grafis. Desain sampul yang demikian seakan sudah menjadi genre baru dalam dunia sampul buku negeri ini. Kreasi demikian tidak lepas dari sosok Harry Wahyu, atau lebih dikenal dengan si "Ong". Pria kelahiran Madiun, 22 Desember 1958, ini sempat mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, jurusan Grafic Art, dan mempelajari seni murni tahun 1980.
Bersama rekan-rekannya dari jurusan Arsitektur UGM, Yogyakarta, Ong mendirikan kelompok Salahuddin Press tahun 1983 yang salah satu kegiatannya siap sedia menerima permintaan penerbit untuk membuat ilustrasi sampul buku. Semula usahanya itu dilakukan guna mencari tambahan biaya. Namun, ternyata profesinya ini menjadi mata pencaharian.
Ketertarikannya pada sampul buku lahir setelah dia mengamati sampul kaset kelompok musik Yes asal Inggris yang tidak menampilkan personel group bandnya, tetapi ilustrasi. Sangat berbeda dengan desain sampul kaset Indonesia yang selalu didominasi oleh sosok sang artis. Ternyata, bahasa visual dapat memberi inspirasi dan menciptakan kesan dari yang melihatnya. "Sang tokoh tidak perlu ada, tetapi justru menampilkan kesan yang lebih hebat bagi penggemarnya," lanjut Ong.
Melihat persoalan baginya tidak harus selalu mengikuti mainstream yang berlaku. Inilah yang dilakukan Ong dalam setiap pengamatannya sekaligus dalam berkarya. Ketika dia diminta membuat ilustrasi sampul buku, misalnya, Ong tidak peduli dengan kaidah-kaidah yang sudah mapan saat itu. Namun, dia berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik dengan menggunakan segala pengetahuan yang dimilikinya. "Saya enggak mau ngikutin pasar, biar pasar yang ikut kita aja. Kalo kita selalu ngikutin selera pasar, kan, enggak akan berkembang, enggak pinter-pinter nanti pasarnya," ungkapnya.
Prinsip ini dibuktikan ketika dia membuat ilustrasi sampul buku yang berkaitan dengan agama Islam. Ong tidak membuat ilustrasi dengan mengambil nuansa Timur Tengah, tetapi gambar orang bersepeda yang berhenti di bawah pohon kelapa untuk melaksanakan shalat. Mendesain sampul buku baginya merupakan sesuatu pekerjaan yang sangat menyenangkan dan berlaku sangat universal. Hingga kini lebih kurang sudah 500 desain sampul buku yang dibuatnya.
Jika Ong lebih banyak berkiprah di Yogyakarta, di Jakarta nama Rully Susanto cukup dikenal sebagai pendesain sampul buku yang berkarakter. Rully bergabung di Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Ia mengaku secara tidak sengaja berkecimpung dalam dunia perbukuan. Menurut dia, sebagian besar lulusan sekolah desain sebenarnya lebih banyak memilih bekerja di bidang advertising yang dianggap memiliki gengsi tinggi. Setelah bidang advertising, lulusan sekolah desain lebih suka memilih sebagai tenaga desain grafis yang khusus memproduksi logo, profil perusahaan, dan sejenisnya. "Jadi, posisi desain grafis di penerbitan itu kurang gengsinya, mungkin ujung-ujungnya kepada penghargaan yang diterima," ungkap Rully.
Namun, ia punya pertimbangan sendiri yang mengarahkan langkahnya memasuki dunia perbukuan. Menurut Rully, menjadi desainer buku harus mampu menguasai beberapa persoalan teknis yang saling terkait, yaitu penguasaan tipografi, kualitas ilustrasi, kualitas foto, dan komposisi. Dengan penguasaan itulah, seorang desainer buku mampu berkiprah. (umi/bip/wen)

Kompas, 16 Agustus 2003

0 Comments:

Post a Comment

<< Home