Tuesday, January 17, 2006

Simpul Sampul Sang Pembosan

Lebih dari 400 sampul buku telah dia kerjakan. Konon, Rully Susanto adalah perancang sampul buku termahal.Lalu mengapa ia mencari seorang yang mau menulis buku untuk disain sampulnya?

SEBUAH BUKU, kali pertama yang terlihat adalah sampulnya. Apakah yang terbayang, menarikkah ia? Siapa disainer yang membuatnya, hingga hati tergerak menjamahnya? Pernahkan terpikir oleh kita kalau selembar samak yang dibuat khusus untuk ‘menggambarkan’ kandungan isi buku itu adalah hasil luapan karsa dan rasa si perancang. Lalu ‘perang kedua’ muncul: don’t judge the book by the cover, kata pepatah lawas. Seakan pekerjaan seorang disainer sampul buku itu berada jauh di dasar laut egosentrisma penulis bukunya.

Menjadi pendisain kaver buku di Indonesia memang masih samar-samar. Sebagai pekerja seni, posisinya masihlah begitu cair ketimbang seorang editor, penulis, atau bagian penjualan, misalnya. Ini menjadi sebuah pertanyaan, apakah keadaan ini memang terbentuk oleh sebuah sistem yang sudah baku? Atau mungkin profesi ini hanya sebagai pelengkap untuk sebuah perusahaan penerbitan?

Menyebut nama Rully Susanto, seperti membayangkan keajaiban angka 400-bahkan lebih-untuk buku yang telah ia kerjakan selama sembilan tahun sejak bergabung di Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) di tahun 1996. Ia dikenal sebagai seorang yang ‘gila kerja’ sekaligus pekerja-paripurna. Hubungannya yang unik dengan Parakitri Simbolon, pemimpin KPG, memper¬kaya pola pikirnya, dan memberikan keleluasaan bekerja sehingga ‘kebe¬basan’ itu bukan untuk seenak udel. Rully banyak menimba pengetahuan dari teman-temannya diredaksi. Ia terbilang kooperatif, ngaku gak tahu ya kalau gak tahu, dan mencecer narasumber untuk keperluan konsep sampul buku hingga ke akar akarnya.

Perangainya yang moody, sangat mempengaruhi proses kerjanya. Dua hal besar yang diandalkannya dalam proses kreatif pekerjaanya adalah gagasan dan eksekusi. Jangan kaget kalau ia begitu serius jika ditanya bagaimana proses kreatifnya sebagai perancang sampul, “seorang perancang sama halnya seperti seorang ilmuwan. Mengenali sebuah problem, lalu dicerna dengan indera (sense) dan akal (rasio). Melakukan riset kecil-kecilan dan menguji kesahihannya. Tidak jarang ia meminta komentar dari teman-teman sekerjanya atas hasil kerjanya. Sense dan akal kadang sering tarik menarik. Memang kadang sebelum problem itu terpecahkan, gagasan itu seperti carut-marut tergantung di udara, menunggu suatu pemecahan yg belum dianugerahkan. Sering orang menganggap ini seperti wahyu yang belum turun dari sorga,” Jelas Rully yang pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Desain Grafis Institut Kesenian Jakarta.

Sebagai pekerja seni, Rully patut bersyukur, ketika apa yang ia dapatkan sekarang belum tentu dienyam banyak orang untuk tipe pekerjaan sejenis ini. Tempat kerja yang senyaman sekarang ini acap memposisikan Perancang Grafis setara dengan editorial naskah.

Lure of Rully
Di luar buku-buku produksi di lingkup kerjanya di KPG, nama Rully Susanto masih sering kita jumpai dalam sejumlah penerbitan. Mereka pasti paham mengapa sampai begitu mau maunya bekerjasama dengan orang senyentrik Rully. Pekerjaan di luar keperluan disain KPG, ia atur waktu pengerjaannya. Tak ada yang disembunyikan, “Semua orang tahu saya mengerjakan sidejob. Yang penting pekerjaan KPG tetap yang utama, dan tetap memuaskan,” tandasnya

Yang dimaksud memuaskan itu tak lain dari bekerja sesuai target, konsep, elaborasi, dan terutama eksplorasi kreatif untuk hasil kerjanya. Bekerja dengan tenggat waktu tak membuatnya redup mencari ide dan gagasan. Kadang ide ‘gila’ itu muncul luber demi mencari sesuatu yang tak biasa. Satu contoh misalnya, ia terkenal liar saat menerjemahkan sampul buku Gempa Waktu (KPG, 2001) karya Kurt Vonnegut dengan inovasi gambar lilin yang kemudian dipindahkan dalam fotografi. Sejumlah material ia coba. Eksperimentasi di luar kelaziman.

Tak banyak orang tahu kalau sampul untuk novel Kerudung Merah Kirmizi (KPG, 2002) karya Remy Sylado adalah akal-akalannya mengerudungkan bola kaca lampu dengan kerudung merah yang kemudian discan. “Saya harus terus mencari sebuah gagasan menarik yang memiliki tingkat akurasi akal sehat yang tinggi dengan tanpa menanggalkan sense yang cantik,” ungkap pekarya yang bersama Enin Supriyanto dan Dina Chandra untuk keperluan disain dan iklan cetak Konser Musik Megalitikum Kuantum yang baru lalu itu.

Ia begitu serius memikirkan dari satu jenis sampul ke sampul yang lain. Jika dijajarkan, sekilas hasil karya-karyanya sepanjang sembilan tahun nyaris tak mempunyai benang merah. Berubah-ubah. Sekilas lompat-lompatan karyanya tanpa meninggalkan ciri khusus. “Saya tidak mau ikut-ikutan dalam berkarya. Saya ini sangat pembosan!,” kilahnya. Kegundahan hatinya soal disain kaver di Indonesia adalah melihat para pendesain kaver buku hanya ikut-ikutan trend yang sedang ramai saja. Contoh, di banyak toko buku sedang marak buku-buku chic lit atau sejenisnya. Semua desain kavernya hampir semua gayanya sama. Padahal kalo mau ngintip sedikit di Amrik sono trend gaya itu sangat beragam sekali coraknya. “Ini bukan mau menghina” katanya, “tapi, kok kita ini cuma segitu sih wawasannya”.

Meski dikenal perfeksionis, bukan berarti jalannya mulus mulus saja. Hatinya tak akan sabar jika bertemu dengan kendala teknis. Ia tak sungkan membeli sejumlah rujukan dan peralatan sendiri tanpa memikirkan angka nominalnya, tentu jika itu memungkinkan. Tak pikir dua kali, ia membeli sendiri sejumlah coffee table book yang harganya selangit itu, jika memang dibutuhkan untuk referensi. Keterbatasan teknis memutar kepalanya untuk lebih bergiat mencari ide-ide segar. Ngidam kamera digital pun baru terlunasi beberapa tahun silam.

Pencarian
Hobi fotografinya itu membuat matanya awas dengan sejumlah view dan memperdalam wawasanya sebagai praktisi disain. Membeli beragam material hingga peralatan canggih seperti computer macintosh itu sering membuatnya kembali bokek meski baru saja terdengar, “Baru saja dapat proyek besar”. Cara Rully memang begini dalam menginvestasikan penghasilannya.Toh, kalau saat ini ia dikenal sebagai perancang sampul dengan tarif lumayan mahal tak lantas membuatnya “besar kepala”. Tarif termahal pernah 10 juta rupiah untuk satu desain kaver. Katanya, “soal patokan harga sebenarnya sih, no big deal! Yang penting kepuasan, kinerja, dan kerja yang selaras antara saya, penulis buku, dan editornya tercapai...” Hasil yang maksimal akan keluar dari kepalanya ketika ada harmoni itu.

Ia kerap menampik jika dikatakan telah hidup mapan dari pekerjaan seninya merancang sampul buku. Di balik alasan rendah hatinya itu terselip gugatan pedas tentang nasib pekerja sebagai seorang disainer buku. Sembilan tahun bekerja di penerbitan buku sudah cukup baginya menilai pola kerja yang ada. Ada tiga hal yang penting menurutnya, kerjasama yang baik antar redaksi, produksi (tim disain), dan pemasaran. “Jangan ada yang lebih dominan atau main kuasa, deh di sini”, kilahnya. Suara bung satu ini terkenal keras kalo merasa ada yang semena-mena di tempat kerjanya. “Saya akan ketus kalo merasa ada yang gak fair sesama teman kerja” Padahal ia tidak memiliki jabatan struktural apapun. Jabatan manajer produksi pernah dilayangkan kepadanya tetapi ia bergeming.

Satu obsesi main-mainnya saat ini adalah mencari seorang penulis buku, yang bersedia menerjemah¬kan hasil rancangan sampul buku yang akan dia buat nanti. Ini jelas bukan sebuah guyonan, tapi lebih semacam sebuah ‘gugatan’ untuk memper¬tanyakan posisi seorang perancang buku selama ini. Meski sering terdengar nada gugatan yang tandas, Rully adalah pengagum Zen. Ia begitu mensyukuri dan menikmati apa yang disebut dengan masa kekinian, apa yang ia capai saat ini adalah sebuah pertarungan untuk hari ini…'

“Saya adalah orang terkini,” tutupnya kemudian.*** Chusnato

1 Comments:

Blogger thereburn said...

hebat!

1:06 AM  

Post a Comment

<< Home