Tuesday, January 17, 2006

Sampul buku adalah Identitas!

Provokasi dalam bentuk visual dan keganjilan-keganjilan yang mengganggu perhatian sangat efektif digunakan dalam sebuah desain. Desain harus terus mencuri perhatian dalam pesta raya perubahan yang serba cepat ini.

Iklan majalah, poster, brosur, TV slot atau radio komersial, spanduk, stiker, papan reklame, kemasan produk, membuat kita sulit membagi perhatian agar bisa berdialog dengan bentuk-bentuk visual tersebut. Masa kini, terlebih masa yang akan datang, segala bentuk akan berubah semakin cepat lagi. Tidak membaca koran satu hari saja kita sudah tertinggal ribuan informasi. Ada yang menjadi perhatian tapi banyak juga yang lewat begitu saja karena tidak menarik buat isi kepala kita. Sering suguhan itu membuat mata jadi lemah dan jenuh karena terus dijejali setiap saat. Sehingga kita terpontal-pontal dalam menangkap sari pati—apapun itu—ketika memandang. Dan dalam hitungan detik sudah terganggu lagi dengan perhatian yang lain. Sebuah karya desain grafis yang tampilannya biasa-biasa saja siap-siap akan masuk tong sampah di dalam system saraf otak kita.

Desain sampul buku tidak mungkin luput dari hiruk pikuk ini. Ratusan judul buku terbit tiap hari. Ratusan rancangan sampul buku berlomba merebut perhatian di outlet-outlet toko buku. Sampul buku harus mengganggu secara optikal, menyentuh rasa pada pandangan pertama bahkan mata harus tertawan pada titik pesan. Dia harus sanggup membangkitkan gairah keingintahuan. Kalau perlu pemirsa menjadi tergila-gila kalau tidak menyentuhnya.

Sebuah Merek Dagang.
Tahun ini, 2005, tepatnya 30 July penerbit kaliber dunia Penguin genap berusia 70 tahun. Di ulang tahunnya ini mereka menerbitkan sebuah buku berjudul Penguin by Design. Isinya melulu menceritakan sepak terjang mereka soal bagaimana mengemas buku dari 1935 hingga 2005. Buku ini menampilkan 500 desain sampul buku terbaik yang pernah mereka buat. Mulai dari gonta-ganti logo sampai gonta-ganti desainer. Perjalanan panjang yang mereka lalui itu tidak pernah lepas dari utak-atik desain sampul buku.

Dari awal berdiri Allen Lane, pemilik usaha ini, berani menyewa desainer tipografi top dunia Jan Tschichold untuk bekerja di perusahaannya. Allen Lane bahkan rela menjemput sendiri Jan Tschichold yang saat itu berdiam di Switzerland. Setelah itu dia diberi gaji lebih tinggi dibandingkan dengan semua karyawan yang ada di perusahaan itu. Padahal semangat awal berdirinya penerbit ini adalah hendak menerbitkan buku-buku murah. Buku bersampul kertas (paperback) harus dijual dengan harga yang murah sekali. Agar pulang modal tiap judul harus dicetak diatas 17.000 eksemplar. Penguin menetapkan jumlah 20.000 eksemplar sebagai angka penjualan yang sehat. Dari angka 20.000 itu hanya separuhnya yang dibungkus sampul. Ini dilakukan agar buku tidak terlalu lama diam dipercetakan. Buku yang tanpa sampul diberi tulisan “unwarranted” dan harganya jauh lebih murah lagi.

Dalam kurun waktu 70 tahun, desain sampul mendapat tempat yang khusus. Awalnya hanya untuk memberi sebuah identitas, lalu berkembang menjadi senjata penting dalam persaingan sengit bisnis perbukuan. Memang, keberhasilan penjualan sebuah buku tidak bisa di nilai langsung dengan sampul bukunya. Tapi Penguin mempunyai kebanggaan tersendiri memakai para top perancang grafis, fotografer, dan illustrator dalam hal memberi sentuhan pada setiap buku-buku mereka yang nantinya diharapkan bisa mendorong angka penjualan. Logo Penguin sudah menjadi sebuah jaminan untuk kualitas. Ini adalah aset yang sangat berharga dan tidak mudah untuk mencapainya. Situasi ini terus berlangsung hingga 2005 khususnya bagi tim artistik Penguin bahkan tradisi inilah yang membedakan mereka dengan penerbit lain.

Pertanyaannya sekarang kenapa Penguin melakukan semua ini? Bagaimana dengan penerbit di negeri ini? Di mana para perancang grafis top kita bekerja saat ini? Adakah karya desain sampul buku negeri ini yang dapat dibanggakan?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home